Jumat, 28 Juni 2013

PARADOKS

Jika bisa mengingat dengan benar mimpi yang kualami tentu akan lebih tergambar kisah-kisahku dengan mereka yang tidak bisa terlihat. Sayang sekali, paradoks antara kehidupan nyata dan gaib kadang sulit untuk dibedakan. Meski telah bersama selama tiga jam misalnya, beberapa saat setelahnya baru kusadari bahwa dirinya berbeda dengan kita. Seperti yang kualami bersama Luna sekitar dua tahun yang lalu. Saat berjalan-jalan di pekarangan rumah, Luna menyapaku dengan senyum manisnya yang merekah. Sebagai tuan rumah, aku melihat Luna hanya seperti seorang tetangga yang belum pernah kukenal sebelumnya. Memang agak janggal melihat seorang gadis lugu keluar di malam hari sendirian. Namun, dengan rokok semua terasa lebih mudah. Kebetulan kita memiliki selera tembakau yang sama. Satu jam pertama kita lalui dengan obrolan penuh basa-basi. “Kuliah di mana? Tinggal di mana? Sibuk apa sekarang?” uniknya obrolan itu mengalir begitu saja dan sebenarnya tidak ada satu pun yang aku ingat dengan jelas isi obrolan tersebut. Entah, memang sebenarnya tidak penting atau ada sesuatu yang menahanku untuk mengingatnya. Hal kecil yang agak janggal adalah dalam satu jam itu dia telah menyeduh tiga gelas kopi hitam. “Kebiasaan yang cukup aneh bagi seorang wanita,” pikirku. Pada jam kedua, barulah ia lebih banyak cerita. Inti dari obrolannya adalah dia minta ditemani untuk mengambil cincinnya yang lenyap saat sedang memahat sebuah patung. Aku pun menyetujuinya dengan langsung mengantarkannya dengan mobil. Sejujurnya ini agak aneh, karena pada dasarnya Luna adalah orang yang baru kukenal sekitar satu jam dan kita sudah pergi bersama. Tapi sekali lagi, aku sedang tidak bisa membedakan antara dunia mimpi dan nyata. Sampailah kita di sebuah gedung kesenian. Di sinilah akhirnya aku mulai menemukan berbagai kejanggalan. Mana mungkin kita berdua bisa melewati gedung tanpa ditanya oleh satpam yang menjaga? Kemudian bagaimana mungkin Luna memiliki kunci yang membuka semua akses ke dalam gedung? Anehnya lagi, Luna bisa dengan mudahnya mengetahui cincin itu yang ternyata ada di dalam hasil karya pahatan miliknya. “Sepertinya tertinggal saat aku sedang memahat,” ujarnya. Selepas dari gedung seni yang entah ada di mana tersebut, aku digiring oleh Luna ke sebuah rumah, sepertinya rumah kontrakan, yang tidak terlalu jauh dari gedung tersebut. Di sinilah jawaban dari semua perjalanan singkatku dengan Luna. Aku mengetuk rumah tersebut sampai dibukakan oleh seorang wanita sekitar usia 40 tahunan. Aku menyerahkan cincin tersebut dan menjelaskan banyak hal kepada wanita itu. Entah apa yang merasuki diriku, tapi yang pasti saat itu Luna sudah tidak terlihat lagi. Momen yang cukup menyentakku adalah saat wanita itu pun berkata : “Terima kasih, cincin ini sudah hilang selama 23 tahun. Ini merupakan cincin perkawinan mendiang ibuku. Cincin ini terakhir dipinjam adiknya yang paling kecil bernama Luna ketika kursus memahat. Ibu marah besar saat mengetahui cincin itu hilang dan memaksa Luna mencarinya malam itu. Sayangnya, Luna tewas dibunuh di jalan. Diduga oleh seorang perampok, karena semua barangnya tidak ditemukan bersamanya. Ibu yang merasa bersalah pun menjadi lebih pemurung sejak kejadian itu. Sampai akhirnya setahun kemudian ia menyusul Luna. Oh ya, kalau tidak salah hari ini merupakan hari ulang tahun Luna.”

2 komentar:

  1. "sama-sama bu, kalau boleh tau nama ibu siapa? karena sepertinya saya kenal," tanyaku
    "Tari."
    akupun tersenyum malu. teringat kejadian malam itu.

    BalasHapus
  2. sulit untuk mengingat malam itu...

    BalasHapus