Era Globalisasi jika diibaratkan adalah sebuah kutukan yang akan melanda semua negara, bangsa, ras, suku, bahkan agama sekalipun. Efeknya sangat kuat seiring berjalannya waktu karena adanya pengaruh lewat budaya melalui anggapan bahwa bangsa yang lebih maju itu dapat mempengaruhi bangsa terbelakang atau berkembang. Selain politik dan ekonomi yang paling terpengaruh adalah budaya. Budaya yang terus dipertahankan oleh beragam suku di tiap negara agar terjaga keindahan dan keaslian warisan nenek moyang tersebut perlahan-lahan bisa saja terkikis akibat arus globalisasi tersebut. Bagaimana dengan suku Dayak.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Suku Dayak merupakan suatu suku yang besar dan mempunyai kelompok suku yang sangat banyak dengan budaya yang beranekaragam, masyarakat suku Dayak hidup dan berkembang di wilayah pedalaman Kalimantan. Suku Dayak memiliki beberapa sub suku bangsa namun perbedaan kebudayaan yang ada relatif kecil, hal ini disebabkan mereka berasal dari garis keturunan yang sama.
Dahulu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Setelah itu muncul juga pengaruh islam yang berasal dari kerajaan Demak seiring dengan makin luasnya perdagangan dengan bangsa melayu sehingga Kalimantan secara teritori masuk di dalam arus perdagangan itu sendiri. Maka sedikit terjadi perubahan sosial seiring dengan sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Belum lagi kedatangan bangsa Tionghoa yang bermaksud untuk berdagang dan berburu emas ini pun memiliki pengaruh meskipun tidak terlalu besar.
Dalam perspektif sosiologis, suku Dayak terbagi menjadi tiga bagian berkaitan dengan pewarisan budaya yang dimilikinya. Bagian pertama, kelompok masyarakat suku Dayak yang bermukim di pedalaman, di kampung-kampung yang mungkin masih tersisa kemurnian kebudayaannya adalah bagian masyarakat yang bertahan dengan pola budaya tolong-menolong, solider, dan loyal dengan ikatan komunalnya. Bagian ini masih mewarisi budaya leluhur dan menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari pembangunan kemanusiaan (human development). Bagian ini sudah terserap modernisasi tetapi masih kuat bertahan dengan kearifan tradisionalnya;
Bagian kedua, adalah bagian tengah yakni bagian masyarakat yang sedang-sedang saja, artinya masih tetap bertahan dengan sebagian dari kebudayaannya namun juga sudah mulai menyerap unsur-unsur modernisasi. Bagian ini merupakan bagian yang cenderung ambil posisi aman saja, cenderung pasrah dan acuh terhadap pewarisan budayanya kepada generasi setelahnya. Bagi mereka, budaya adalah budaya, ia akan mengalami seleksi alamiah, tidak ada kewajiban yang mengharuskan untuk mewariskannya;
Bagian ketiga adalah bagian dari pucuk piramida, kaum elite dan intelektual dan berwawasan luas, menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan namun hampir sama dengan bagian kedua, yakni mewariskan budaya menjadi bagian yang tidak terlalu penting dan harus di masa kini yang serba canggih. Hanya saja yang membedakannya adalah cara pandang dan keprihatinan mereka dalam melihat eksistensi kebudayaan dan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam konstelasi demikian, maka peranan kaum elite dan intelektual merupakan garda depan yang harus menjadi motor penggerak masyarakat bagian tengah untuk tetap mempertahankan kebudayaan dan mereposisi perubahan pola pikir manusia suku Dayak. Perubahan pola pikir tidak harus serta merta menanggalkan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penapis/filter bagi kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan kepribadian manusia Dayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah secara eskalatif muncullah gerakan eskapisme terhadap budaya sendiri, lebih bangga dengan kebudayaan lain, yaitu kebudayaan baru sebagai pengabur identitas lama untuk dan atas nama sebuah identitas modern
Di era globalisasi sekarang ini, dimana rujukan modern mengambil Barat sebagai patokan, kompetisi sebagai dasar hubungan dan kekuasaan sebagai orientasi membawa manusia Dayak semakin terasing dari karakternya. Dasar solideritas dipecah dan direkayasa secara historis dan sistematis lewat pelabelan budaya tradisional yang tidak sehat dan tidak modern, sehingga pada kondisi tertentu mendorong mereka tinggal dan membangun rumah tunggal, konsekuensi logis atas ini semua membawa masyarakat Dayak pada ruang individualistis. Penerapan modernisasi ala Barat yang memiliki prasyarat masifikasi individualisme merubah pola pikir dan pola hidup masyarakat Dayak. Dengan hal tersebut semakin membawa manusia Dayak terasing dari solideritas yang pernah menjadi karakternya dahulu.
Dari latar belakang tersebut suku dayak sendiri telah terpengaruh oleh banyak hal akibat ekspansi dari bangsa lain, sehingga Dayak sangat rentan untuk lenyap begitu saja. Meskipun begitu tetap saja masih ada sekelompok orang yang tetap berusaha untuk mempertahankan budaya dayak sejak zaman dulu. Dan hal yang sangat luar biasa adalah kebudayaan tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Contoh dari kebudayaan-kebudayaan tersebut adalah upacara Tiwah, Dunia Supranatural, dan Mangkok Merah.
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Perubahan kebudayaan berdampak pada perubahan pola hidup dan pola pikir suku Dayak saat ini dan itu berpengaruh pula terhadap keterbukaan dan kebersamaan suku Dayak, pada mulanya mereka belum mengenal sifat yang individualistis sekarang sifat itu mulai ada dalam sikap hidup mereka walaupun tidak sepenuhnya merubah konsep hidup orang Dayak dan itu diakibatkan oleh kemajuan zaman. . Kemajuan zaman juga mempengaruhi kebutuhan hidup suku Dayak dan semua itu memang akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Meskipun begitu, Konsep hidup suku Dayak keterbukaan dan kebersamaan masih tetap dipegang ditengah modernisasi walaupun dalam perwujudannya yang berbeda. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan zaman merubah pola pikir dan hidup suku Dayak. Budaya ini tetap terselamatkan dan akan tetap bertahan berkat para sesepuh yang masih memegang teguh tradisi mereka di tambah dengan anak –anak muda yang mendapat transfer ilmu dari orang tuanya untuk menjaga kelestarian warisan nenek moyang mereka.